Sabtu, 02 Mei 2015

Refleksi HARDIKNAS dari Lembah Ilowutung


Berkisar 22 km dari pusat Lewoleba ibu kota kabupaten Lembata arah timur kita menjumpai suatu desa yang namanya Lerahinga. Di situlah letak Jalan Puncak Bengakri, satu-satunya akses transportasi yang digunakan masyarakat dari lima desa tetangga yaitu Lamatuka, Baopana, Lerahinga, Banitobo, dan Lamalela. Jalan ini juga menjadi satu-satunya akses yang digunakan oleh para guru yang mengabdikan diri pada keempat sekolah yang berada di wilayah pedalaman desa Banitobo dan Lamalela. Mengapa dikatakan mengabdikan diri? Sebab sudah banyak guru PNS yang ditugaskan pada empat sekolah tersebut. Namun sayangnya setelah melaporkan diri ke sekolah, guru-guru tersebut kemudian hilang tanpa ada berita atau lebih dikenal dengan istilah muntaber (mundur tanpa berita). Siapa yang bertanggungjawab untuk hal ini? Tanpa ada penjelasan dari BKD, Dinas Pendidikan ataupun pihak lain yang terkait.
Terlepas dari problem di atas, ketika kita menginjakkan kaki di Desa Lerahinga tepatnya di samping Kantor Kepala Desa Lerahinga, kita dikejutkan dengan sebuah persimpangan jalan tanjakkan hingga pada sebuah pemancar Telkom yang dibangun sekitar tahun 90an dengan bantuan beberapa anggota ABRI yang dikenal dengan AMD. Di situlah letak Jalan Puncak Bengakari.

gambar1

Foto Jalan Puncak Bengkari di Desa Lerahinga/by heri lengari-oppo neo k

Membutuhkan waktu sekitar 45 menit dimusim panas dan sekitar 90 menit dimusim hujan untuk menaklukkan Bukit Bengkari ini, menggunakan sepeda motor. Itupun bagi mereka yang sudah terbiasa menggunakannya. Jika memilih untuk berjalan kaki seperti yang biasa dilakukanRm.Domi Luro, Pr seorang pastor pembantu di Paroki Hadakewa sebelum tahun 2013 dengan alasan takut medan, maka dibutuhkan waktu sekitar 180 menit untuk mereka yang sudah terbiasa.
Saat keluar dari ujung selatan Djiesa Lerahinga, jalannya mulai menanjak seakan tak berujung dan akan terdengar raungan bunyi mesin sepeda motor seperti lazimnya bunyi mesin pemotong kayu. Jenis sepeda motor yang digunakan para pengguna jalan ini, terutama para ojek terbilang klasik. Sebab jenis kendaraannya biasa saja seperti yang digunakan para pengendara lain misalnya supra fit, revo, dan sepeda motor kecil lainnya selain matic. Hanya saja untuk penggerak roda belakang (gir) biasanya menggunakan sepeda motor jenis GL Max, GL Pro, Mega Pro dan jenis lainnya yang diameter lingkarannya lebih panjang. Entah siapa pemikir utamanya, tetapi sudah lazim untuk saat sekarang.

gambar2

Foto seorang guru SDI Ilowutung yang didampingi tukang ojek dan penumpangnya bersama kendaraannya masing-masing ketika sedang beristirahat di pertengahan jalan/by heri Lengari-oppo neo k
Sepanjang pendakian menuju Puncak Bengkari, kita akan melewati rintangan-rintangan yang sangat menegangkan, sebab harus melewati tanjakan-tanjakan yang membentuk sudut dengan kisaran 45°-60°. Ruas jalannya yang sempit dan hanya cukup dilewati sebuah mobil. Sementara disampingnya berupa jurang-jurang yang dapat menyebabkan bulu kuduk merinding, bila terus dipandang. Aspal yang berlubang-lubang di tempat yang rata menjadi hal biasa bagi para pengendara di Kabupaten Lembata, tetapi tidak bagi para pemula pengguna jalan ini. Beberapa titik rawan yang selalu menjadi kendala dimusim hujan bagi para pengendara di jalan ini (termasuk ruas jalan yang putus akibat longsor ditahun 2013 lalu), telah di cor (semenisasi) oleh kelima desa tetangga itu pada tahun 2014 silam, berkat dana PNPM. Sudah cukup membantu bagi mereka yang biasa menggunakan jalan ini, namun tidak bagi pemula akibat lumut yang membuat jalanan licin.

gambar3

Foto tanjakan yang menjadi titik rawan telah dicor (semenisasi)/by heri lengari-oppo neo k
Ketika tiba di Angin Wewa suatu tempat dekat Puncak Bengkari, biasanya para pengguna jalan ini beristirahat sekedar untuk mendinginkan mesin kendaraannya. Setelah merasa cukup, perjalanannya akan dilanjutkan melewati hutan Lelalein yang dulu merupakan kampung halaman penduduk Desa Lerahinga. Ketika melewati tempat ini, kita akan merasakan perubahan cuaca dimana suhunya terasa lebih dingin. Sekitar 1 km dari tempat istirahat tadi, kita memasuki sebuah perkampungan pedalaman pertama. Kampung itu adalah pusat desa Banitobo atau lebih dikenal dengan Hidalabi. Di desa inilah letak SDK Lamatuka salah satu SD terpencil di Lembata, dengan enam rombongan belajar dan enam guru. Dari keenam guru tersebut tiga diantarnya PNS (termasuk kepala sekolah) dan lainnya adalah tenaga honor.

gambar4

Foto SDK Lamatuka di Hidalabi Desa Banitobo/by heri Lengari-oppo neo k
Lepas dari perkampungan Hidalabi, kita akan dihadapkan dengan rintangan yang lebih mengerikan. Sepanjang perjalanan ini, sepeda motor yang kita tumpangi harus masuk ke dalam lumpur-lumpur setinggi betis orang dewasa menyebabkan mesin kendaraanpun penuh dengan lumpur.

gambar5.2

Foto jalanan yang dipenuhi lumpur yang harus dilalui para pengendara sepeda motor/by heri lengari-oppo neo k

Biasanya meraka (para pengendara sepeda motor) menunggu rekannya untuk saling membantu melewati rintangan seperti ini. Sebelum tiba pada Gereja tua, kita akan melewati jalanan yang rusak akibat longsoran pada awal bulan Januari 2014 silam. Ruas jalan yang tersisa hanya selebar sepeda motor.

gambar6

Foto jalanan yang rusak akibat longsor yang terjadi beberapa waktu lalu/by heri lengari-oppo neo k
Setelah melewati beberapa rintangan dalam perjalanan seperti yang digambarkan tadi, maka sampailah kita pada suatu tempat yang dikenal dengan nama Nuba. Di sini terdapat sebuah Gereja Katolik tua yang di bagun sekitar tahun 1970an. Gereja ini dipelopori oleh Pt. Wilhelmus Van De Leur, SVD misionaris asal Belanda saat itu. Berdasarkan cerita dari beberapa tokoh adat yang kebetulan terlibat secara langsung dalam pembangunannya, gereja ini dibangun dengan melibatkan semua umat disekitar mulai dari umat Dangalagu (sebuah dusun kecil yang menjadi bagian dari Desa Lamalela), umat ilowutung (Desa Lamalela sekarang), umat Lelawerang (kini tinggal hutan kemiri sebab semua umatnya sudah pindah ke Tanah Tereket, Desa Baopana sekarang) umat Besei (sebuah dusun kecil yang menjadi bagian dari Desa Banitobo), umat Lebelang (sebuah dusun kecil yang menjadi bagian dari Desa Banitobo), umat Hidalabi (Desa Banitobo sekarang), umat Lelalein (kini tinggal hutan kemiri sebab semua umatnya sudah pindah ke Lerahinga, Desa Lerahinga sekarang), dan dikepalai oleh seorang tukang asal Lamalera (terkenal dengan ikan paus). Gereja St. Paulus Nuba ini berdiri di tengah hutan sekarang, namun masih digunakan umat dari Besei, dan Lebelang, pad setiap minggunya. Bila hari raya umat katolik tiba, maka gereja ini menjadi pusat ibadah yang dipimpin oleh seorang pastor utusan dari Paroki Hadakewa yang juga menjadi pusat Paroki.

gambar7

Foto Gereja St. Paulus Nuba/by heri lengari-oppo neo k
Pada tempat ini pula (Gereja St.Paulus Nuba), terdapat tiga persimpangan jalan. Sekitar 100 meter ke arah barat, kita akan menuju suatu perkampungan kecil yang dikenal dengan nama Lebelang. Begitu juga sekitar 100 meter ke arah selatan, kita akan menuju ke suatu perkampungan kecil yang dikenal dengan nama Besei. Di desa inilah letak SDK Nuba Lamatuka salah satu SD terpencil di Lembata (berbeda dengan SDK Lamatuka), dengan lima rombongan belajar dan lima guru. Dari kelima guru tersebut tiga diantarnya PNS (termasuk kepala sekolah) dan lainnya adalah tenaga honor.

gambar8

Foto SDK Nuba Lamatuka di Besei Desa Banitobo/by heri lengari-oppo neo k

Sekitar 3 km ke arah timur, kita akan menuju Ilowutung (Desa Lamalela). Di sepanjang jalan ini, kita melewati hutan kemiri bekas perkampungan orang Lelawerang yang sejak tahun 1984 sudah beralih ke Tanah Tereket (Desa Baopana sekarang). Tidak jauh berbeda rintangan yang harus dihadapi bila menuju ke Ilowutung, dengan yang ditempuh dari Hidalabi menuju Gereja St. Paulus Nuba. Sudah pasti jalanannya melewati jurang-jurang yang terjal dan endapan-endapan lumpur yang tebal.
Ilowutung adalah sebuah perkampungan kecil. Di kampung inilah letak SDI Ilowutung salah satu SD terpencil di Kabupaten Lembata, dengan enam rombongan belajar dan tujuh orang guru. Dari ketujuh guru tersebut enam diantarnya PNS (termasuk kepala sekolah) dan lainnya adalah tenaga honor.

gambar9.1

Foto SDI Ilowutung di Ilowutung Desa Lamalela/by heri lengari-oppo neo k

Berdekatan dengan SDI Ilowutung, terdapat satu-satunya sekolah menengah pertama diwilayah pedalaman ini dengan tiga rombongan belajar. Sebut saja SMPN Satap Ilewutung, dengan enam guru dan satu tenaga tata usaha. Dari keenam guru tersebut tiga diantaranya adalah PNS yaitu seorang sarjana pendidikan bahasa inggris, seorang sarjana pendidikan fisika dan seorang diploma ketrampilan jasa. Begitu juga tenaga tata usahanya merupakan PNS, sedangkan tiga guru lainnya adalah tenaga honor. Satu diantaranya adalah sarjana pendidikan biologi, dan dua lainnya adalah tenaga guru non spesifikasi.

gambar10

Foto SMPN Satap Ilewutung di Ilowutung Desa Lamalela/by heri lengari-oppo neo k
Situasi ini menggambarkan betapa sulitnya seorang guru menuju ke tempat pengabdiannya. Bahkan dapat dikatakan nyawalah taruhannya, demi mencerdaskan anak bangsa. Sayang sekali guru yang mengabdikan diri di wilayah pedalaman ini atau yang lebih dikenal dengan sebutan nerakanya Lembata ini, ternyata sering diabaikan oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten Lembata. Ada beberapa masalah yang selalu terjadi yang dapat menggangu kinerja guru di wilayah ini atara lain: 1) tidak adanya kerjasama yang baik antara pemerintah desa, orangtua dan sekolah, dan 2) ketidakadilan dalam perolehan tunjangan daerah khusus. Untuk masalah pertama mungkin disebabkan oleh minimnya pengetahuan orangtua dan pemerintah desa terhadap tugas dan tanggungjawab yang sebenarnya sebagai bagian dari satuan pendidikan yang berada di wilayahnya. Sedangkan masalah yang kedua mungkin disebabkan oleh penentuan kuota penerima tunjangan yang dimaksud. Bagaimana mungkin semua guru dapat memperolehnya bila kuotanya terbatas, lebih lagi dalam SK Bupati Lembata banyak sekolah yang masuk dalam wilayah terpencil yang perlu di tinjau ulang keberadaannya (mungkin ini tugasnya inspektorat).

0 komentar: