Rabu, 27 Februari 2019

Kisah Laba Hadung dan Awololong


sumber: Naskah Asli Sejarah Asal Usul Laba Hadung
Pada zaman dahulu, di sebelah utara Lewoleba ada suatu daratan yang luas. Di atas daratan ini terdapat suatu tempat bernama‘Watobelen Parekone’. Tempat ini merupakan tempat tingalnya Laba Hadung bersama dengan 2 (dua) orang saudaranya Samung Hadung dan Igo Hadung. Ketiganya merupakan buah kasih raja Payong yang menikah dengan Ina Boleng (Ile Jadi) Dewi pemilik gunung Boleng. Ketiganya berdiam dan memerintah di Watobelen Parekona, dan yang menjadi raja adalah Laba Hadung karena sebagai yang sulung dari kedua saudaranya. Laba Hadung memerintah  kerajaan ‘Wato Belen Parekona’ dengan aman dan damai.
Dalam situasi yang demikian aman dan damai, datanglah seorang raja dari kerajaan tetangga bernama Sira Demong. Dia adalah raja dari kerajaan ‘Ile Mandiri’. Maksud kedatangan raja Sira Demong yakni ingin mengajak raja Laba Hadung agar kedua kerajaan itu dijadikan satu kerajaan saja, dimana raja Laba Hadung bersama seluruh rakyatnya harus bergabung dengan kerajaan Ile Mandiri dan tunduk di bawah kekuasaan raja Sira Demong. Mendengar permintaan itu, raja Laba Hadung menolak keinginan raja Sira Demong dengan mengatakan bahwa raja Sira Demong tetap menjadi raja di Ile Mandiri dan saya juga tetap menjadi raja di sini; kemudian raja Sira Demong menanggapi jawaban yang disampaikan dengan mengatakan bahwa jika raja Laba Hadung tetap pada pendiriannya, maka sekembalinya dia ke Ile Mandiri, delapan hari lagi akan terjadi suatu kejadian yang mengherankan, yakni saya akan menari dengan segala kekuatan dan menikam tombak di tanah maka tanah akan bergoyang, air akan naik yang akibatnya akan dirasakan sampai di Watobelen Parekona. Tanah tempat tombak terpancung berubah menjadi sebuah sumur. Sumur tersebut berada di Larantuka, yang dinamakan sumur Sira Demong. Andaikan keadaan ini dirasakan sampai di Watobelen Parekona, maka raja Laba Hadung bersama rakyatnya harus tunduk dan taat pada kerajaan Ile Mandiri.
Melihat peristiwa ini, raja Laba Hadung tanpa berpikir panjang langsung mengakui / menyetujui keinginan raja Sira Demong. Untuk itu, raja Laba Hadung bersama kedua saudaranya berangkat menuju Ile Mandiri untuk menemui raja Sira Demong. Dalam pertemuan itu raja Sira Demong sempat bertanya ‘apakah tanah yang bergoyang itu dirasakan juga oleh Laba Hadung bersama rakyatnya di Watobelen Parekona atau tidak’. Raja Laba Hadung menjawab benar. ‘Kami rasakan pada hari yang ke delapan sesuai yang dikatakan oleh raja Sira Demong. Karena itu, raja Laba Hadung mengakui kekuasaan raja Sira Demong, dengan demikian raja Laba Hadung bersama seluruh rakyat mulai saat itu bergabung menjadi satu kerajaan di bawah kerajaan Ile Mandiri yang diperintah oleh raja Sira Demong. Setelah itu, raja Sira Demong menyuruh raja Laba Hadung kembali bersama kedua saudaranya ke Watobelen Parekone dan segera mengumpulkan Kapitan, Kabelen, Kelake, dan Kabu Reperi. Mereka bertemu di suatu tempat bernama Lero Resing dengan membawa seekor kerbau untuk disembelih. Sebelum sampai pada hari yang ke delapan, terjadilah perselisihan antara Samung Hadung dan Igo Hadung. Karena perselisihan itu dianggap kurang baik oleh Raja Laba Hadung, maka Laba Hadung lalu memutuskan untuk menugaskan Samung Hadung untuk memerintah dan tinggal di Tanah Boleng (sebagai kakang) di Tanah Boleng Adonara, sementara Igo Hadung ditugaskan ke Nuhalela untuk tinggal dan memerintah (sebagai kakang Nuhalela) di Lamalera.Setelah pertemuan tersebut, raja Sira Demong kembali ke Ile Mandiri tanpa membawa hasil, dan meninggalkan satu perjanjiana atau pesan ajaib. Sementara itu, raja Laba Hadung mulai menghitung hari seperti yang disampaikan oleh raja Sira Demong. Maka tibalah hari yang ke delapan, raja Sira Demong pun melaksanakan apa yang dikatakannya. Dan benar tarjadi apa yang dikatakan raja Sira Demong yang dampaknya dirasakan oleh raja Laba Hadung dan seluruh rakyatnya di Watobelen Parekone.
Pada hari yang ke delapan, raja Laba Hadung bersama Samung Hadung, Kapitan, Kabelen, Kelake, Kabu Reperi mengadakan pertemuan dengan raja Sira Demong beserta seluruh bawahannya dengan membunuh seekor kerbau yang dibawah oleh raja Laba Hadung. Dalam pertemuan tersebut mereka bersepakat mengadakan ikrar atau sumpah, yang diucapakan oleh raja Laba Hadung dan raja Sira Demong yang berbunyi sebagai berikut “megung matan kleng knape”, “koten keleng huri marang”. Sesudah mengucapkan ikrar atau sumpah, acara dilanjutkan dengan makan bersama.
Setelah acara makan bersama, Igo Hadung pun tiba dari Nuha Lela. Kehadiran Igo Hadung pun disamapaikan oleh raja Laba Hadung kepada raja Sira Demong beserta rombongan dari kerajaan Ile Mandiri. Mendengar penyampaian tersebut, raja Sira Demong mengatakan kepada mereka yang hadir agar segera memberikan makanan dan minuman yang sisa itu untuk dimakan oleh Igo Hadung. Raja Laba Hadung pun menyambung ajakan raja Sira Demong dalam bahasa daerah kerajaan Wato Belen Parak One “kluok knamar ne nae gang, waing peret ne nae sebu, tuak kuseren ne nae nenu”. Yang artinya nasi yang sisa beri dia makan, kuah yang sisa beri dia siram nasi, serta tuak yang sisa beri dia minum. Bersamaan dengan itu, raja Laba Hadung mengeluarkan sebutan atau panggilan untuk Igo Hadung yakni “Lele tuha wutu wai aren”. Sesudah itu, raja Sira Demong bersama kapitan, kabelen, kelake, kabu keperi, dan raja Laba Hadung bersama kedua saudaranya serta kapitan, kabelen, kelake, kabu reperi meninggalkan tempat tersebut untuk kembali ke tempat tinggalnya masing-masing.
Sekembalinya Laba Hadung dari pertemuan tersebut, Watobelen Parekona masih merupakan tempat tinggalnya. Beberapa lama kemudian Watobelen Parekone digenangi air laut dan terhanyut, maka Laba Hadung beserta seluruh rakyatnya pindah ke suatu tempat bernama ‘Da Awololong Pea Golomengi’. Raja Laba Hadung beserta seluruh rakyatnya tidak terlalu lama tinggal di Awo lolong karena mereka mengalami kejadian yang sama seperti yang dialami di Watobelen Parekona, namun kali ini air pasang naik begitu dasyat yang mengakibat rumah-rumah penduduk hanyut oleh ganasnya gelombang.
Menurut cerita, pada suatu malam penduduk Awololong mengadakan malam hiburan dengan bermain tandak. Banyak penduduk yang terlibat dalam permainan tandak; dan ada juga yang menonton. Orang-orang yang menonton permainan tandak itu, diantaranya terdapat beberapa ibu yang sedang membuat api unggun untuk berdiang menghangatkan badannya sambil menonton.  Sementara berdiang sambil menonton permainan tandak yang semakin menghangat , muncullah seekor anjing dan mendekatkan badannya berdiang bersama ibu-ibu sambil menonton. Karena anjing itu berdiri agak di depan dan menghalangi pandangan ibu-ibu, maka seorang ibu menggerutu dengan berkata ‘dari pada berdiri di depan menghalangi pandangan kami, lebih baik engkau masuk dalam lingkaran dan ikut bertandak. Mendengar ucapan ibu tersebut, anjing itu menghilang. Beberapa saat kemudian anjing itu muncul kembali dengan kepala yang sudah terikat dengan daun lontar, lalu masuk dalam lingkaran ikut bermain tandak. Pada saat itu anjing tersebut mengangkat pantun yang berbunyi “No pito no pito tahik gere, no pito blebo lebo no pito” yang artinya tujuh hari lagi, tujuh hari lagi air laut naik, tujuh hari lagi air laut akan menenggelamkan semua. Dan benarlah apa yang dikatakan anjing dalam pantunnya itu.
Pada hari yang ke tujuh sesudah malam keramaian itu, terjadilah apa yang disampaikan anjing lewat pantunnya itu. Air laut sungguh naik memporak-porandakan dan menghanyutkan rumah-rumah serta harta milik penduduk Awololong. Penduduk Awolong beserta Laba Hadung berjuang menyelamatkan diri dengan mengungsi ke arah selatan Awololong (yang sekarang ini pulau pasir putih). Setibanya Penduduk Awololong, ada yang meneruskan perjalanannya ke pedalaman. Atas kejadian yang maha dasyat itu, orang-orang penghuni Lewoleba sekarang yang asli mengganggap anjing sebagai binatang yang haram untuk dipermainkan.
Setelah ‘Da Awololong Pea Golomengi’ berubah menjadi lautan, maka Laba Hadung mengungsi dan tinggal di ‘Eberbelboto’ (nama tempat di antara Wangatoa dan Lamahora). Selama Laba Hadung tinggal di Eberbelbuto, dia menanam siri dan pinang di suatu tempat bernama ‘Bluwa’ sebelah barat ‘Lewoleba’ serta menanam kelapa ditempat bernama ‘Manukawa’ sebelah selatan ‘Eberbelbuto’. Walaupun semua tanaman yang ditanam Laba Hadung itu telah mati namun buahnya yang jatuh tumbuh kembali secara berkesinambungan sampai hari ini, kecuali tanaman siri telah mati semuanya.
Dari Eberbelbuto, Laba Hadung pindah lagi ke tempat yang baru bernama ‘Wawatu’ sebelah selatan Wangatoa pedalaman atau arah utara Eberbelbuto. Di’ Wawatu’, Laba Hadung menanam kelapa di satu tempat bernama ‘Nara’. Sekarang kelapa-kelapa yang ditanam itu telah mati semuanya. Kampung Nara terletak di lembah antara dua buah bukit. Pada suatu hari, Laba Hadung mendaki dan berdiri di sebuah bukit dan melihat daratan (Lewoleba sekarang), tempat mana yang telah ia tinggalkan. Ia terharu dan merasa tertarik melihat pohon-pohon kelapa di ‘Manukawa’, dan pohon pinang di ‘Bluwa’, kemudian ia lalu meninggalkan ‘Wawatu’ dan kembali lagi bersama penghuni lainnya ke ‘Eberbelbuto’.
Kegemaran Laba Hadung adalah berburu menangkap binatang hutan, antara lain babi, dan rusa. Suatu hari Laba Hadung memerintahkan semua lelaki penduduk ‘Eberbelbuto’ untuk berburu mencari  dan menangkap binatang hutan. Pada waktu perburuan itu, mereka menemukan seorang anak lelaki di lereng sebuah bukit. Sekembalinya para pemburu mereka menyerahkan anak lelaki yang ditemukan tersubut kepada Laba Hadung sebagai pemimpin mereka. Anak tersebut dipelihara oleh Laba Hadung dan diberi nama ‘Lamalerek’ dan sekaligus nama suku untuk anak tersebut. Lamalerek artinya di tempat yang rendah atau lereng.
Selanjutnya masyarakat pun gemar berburu seperti kegemaran Laba Hadung. Dalam perburuan tersebut para pemburu ‘Eberbelbuto’ menemukan lagi seorang anak lelaki sedang duduk di bawah pohon pahlawan. Seperti biasa, anak tersebut pun diserahkan kepada Laba Hadung untuk memeliharanya. Anak tersebut diberi nama ‘Pukalolo’ dan nama ini selanjutnya dijadikan sebagai suku anak tersebut. Pukalolo artinya di bawah pohon pahlawan. Kedua anak yang dipungut tersebut, hingga sekarang keturunannya masih hidup dan bergabung di dalam suku ‘Hadung Boleng’.
Demikian sejarah asa usul Laba Hadung, sebagai pemimpin atau raja pada waktu itu mulai dari Watubelen Parakona sampai di Eberbelbuto, dan di atas tanah yang ditanami tanaman anatar lain; kelapa, sirih pinang, temapat-tempat yang dinyatakan dalam sejarah atau tanah yang sekarang disebut tanah Lewoleba adalah tanah milik dari Laba Hadung yang diwariskan kepada anak cucunya hingga saat ini. Raja Laba Hadung adalah raja yang kemudian karena bergabung dengan kerajaan Ile Mandiri pada masa pemerintahan raja Sira Demong, maka kerajaan Laba Hadung bukan lagi sebagai suatu kerajaan namun sebagai suatu daerah atau bagian dari kerajaan Ile Mandiri.
Penyerahan kekuasaan tidak melalui suatu pertumpahan darah melainkan melalui suatu tanda atau kejadian yang sungguh ajaib. Sementara raja Sira Demong menganggap raja Laba Hadung bukan sebagai raja yang kalah perang, namun sebagai seorang raja yang dihargai dan dihormati. Jika ada upacara resmi dalam istana raja Sira Demong, upacara  tersebut belum dapat dilangsungkan kalau raja Laba Hadung belum berada di tempat. Keadaan tersebut berlaku terus sampai pada raja terakhir dari kerajaan Ile Mandiri jika ada upacara-upacara resmi. Kakang dari Hamente Lewoleba harus hadir baru upacara dapat diselenggarakan.
Sejarah asal usul Laba Hadung ini akan disusun dengan daerah kekuasaan raja Laba Hadung sekaligus raja Laba Hadung merupakan tuan tanah, penguasa tanah yang terus menerus diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucunya disertai dengan batas-batasanya. Raja Laba Hadung sengaja menanam tanaman-tanaman umur panjang untuk menandai tempat tersebut sebagai miliknya. Selain itu, karena Laba Hadung mempunyai dua orang anak maka ada beberapa tempat oleh Laba Hadung dianuhgrakan kepada anak Lamalerek dan Pukalolon.
Adapun batas-batas tanah yang dikuasai/dimiliki oleh Laba Hadung adalah sebagai berikut:
Sebelah Timur (mulai dari laut ke darat arah pedalaman/gunung):
  1. Moo Ona (disebelah milik dari orang gunung api)
  2. Keroko Wolo idem
  3. Heker One idem
  4. Keneraj Wewang (berbatasan dengan suku Leworonga)
  5. Paga Wora Wolowutung idem
Sebelah selatan (mulai dari timur ke barat) di daerah bukit:
  1. Ketatar Wuwung (berbatasan dengan tanah milik suku Pukalolon)
  2. Wato Mita idem
  3. Liang Bura idem
  4. Lapaj Kotek (Berbatasan dengan tanah milik susku Lamalerek)
  5. Eto Haum idem
  6. Wato Golot idem
  7. Kajo Pukang (Berbatsan dengan tanah milik suku Ataudjan)
  8. Kima Epu idem
  9. Benakap Liang idem
  10. Koli Ubuaja idem
  11. Wato Kerbau idem
  12. Baok Raget idem
  13. Emi Horopeti (Berbatasan dengan tanah milik orang dari Udek)
  14. Ledo Knering idem
  15. Wai Bao idem
  16. 1Wato Keluli idem
  17. Lehem Baring idem
  18. 1Wuka Krengar (Berbatasan dengan tanah milik orang dari Kawela/Belang)

Sebelah Barat (dari bukit ke pantai): Hukung (Berbatsan dengan tanah milik orang dari Kawela/Belang)
Sebelah Utara berbatasan dengan laut:

Pada zaman penjajahan untuk menghindari perselisihan batas-batas tanah, maka oleh Letnan Muller telah diberi tanda batas dengan membuat tanda-tanda silang pada pohon yang sekarang sudah hilang tanda-tanda itu. Pada waktu itu, pohon yang diberi tanda adalah daerah perbatasan dengan Hamente Ile Ape dan Kawela sedangkan yang lain tidak diberi tanda karena justru dalam lingkaran daerah kerajaan Larantuka. Bukti-bukti yang nyata menunjukan bahwa Laba Hadung dan keturunannya hingga kini tanah tersebut adalah milik Laba Hadung dan keturunannya. Andaikata ada penduduk dalam daerah Lewoleba dan sekitarnya yang membunuh kerbau atau sapi maka kebiasaannya kepala dari hewan tersebut diberikan kepada suku Hadung Boleng. Begitu pula dengan ikan-ikan di laut khusunya ikan besar seperti penyu, ikan paus (temu) kepalanya harus diserahkan kepada pemilik daerah Lewoleba, yakni suku Hadung Boleng.

Demikianlah sejarah asal usul raja Laba Hadung dan batas-batas tanah yang dikuasainya/sebagai tuan tanah yang diteruskan kepada anak cucunya untuk diketahui.


Larantuka, 17 November 1971                                               Lewoleba, 15 November 1971
Mengetahui/disahkan
Penguasa adat tertinggi Kerajaan Larantuka                         Yang membuat/ Keturunan Laba Hadung
Raja Larantuka,

Ttd                                                                                                      Ttd

=DON LORENZO DVG=                                                                =J.A.HADUNG BOLENG=

Sumber: Naskah Asli Sedjarah Asal Usul Laba Hadung

0 komentar: