Rabu, 30 September 2015

SEANDAINYA WARTAWAN JADI "PINOKIO"


Antonius Da Silva S.Pd
Seorang Guru Di Daerah Terpencil

(Sebuah kegelisahan hati terhadap "oknum wartawan lokal" menjelang hajatan politik)

Menjadi Wartawan adalah impian masa kecilku. Bertanya, meliput, menulis, menganalisa, mengedit, dan mengulasnya menjadi sebuah berita menarik, sungguh merupakan sebuah profesi yang luar biasa. Jika kita melihat dalam perspektif Samuel Bloom, maka wartawan adalah sebuah profesi yang mencerahkan dan mencirikan sebuah cara berpikir kognitif yang sempurna.

Sampai saat ini, saya begitu mengagumi wartawan, terlebih lagi, saat mereka bisa menggengam dan memuat dunia hanya dengan menggoreskan pena pada lembaran-lembaran kertas biasa. Ada beberapa wartawan yang begitu menginspirasi, sehingga akhirnya saya tertarik untuk menulis, tanpa pernah mengingkari bahwa kerapkali, saya juga tak begitu menyukai mereka. Sampai detik ini pun, saya masih tetap mengagumi mereka, tetapi ada semacam kegelisahan dan kekuatiran di benak saya terhadap para wartawan dan kode etiknya, terutama ketika menjelang hajatan politik.

Apakah para wartawan bisa jujur layaknya seorang "Pinokio"? Pertanyaan ini kemudian mendorong saya untuk menulis impian saya tentang mereka tanpa pernah bermaksut untuk menggurui ataupun menyindir.

Wartawan Dalam Wajah Pinokio

Pinokio adalah sebuah cerita yang berasal dari Italia. Kisah ini menceritakan tentang seorang pria tua miskin bernama Geppetto yang sangat merindukan kehadiran seorang anak laki-laki. Dengan ketrampilan memahatnya, dia akhirnya membuat sebuah boneka kayu,yang diberi nama Pinokio. Boneka kayu (Pinokio) itu, lalu diberi nafas kehidupan oleh Peri Biru. Ada satu hal yang menjadi keunikan dari Pinokio ini. Hidungnya akan bertambah panjang jika dia mulai berbicara tentang kebohongan. Setiap kebaikan atau kejujuran yang dilakukanya akan membuat hidungnya kembali normal. Si Pinokio ini akhirnya menjadi manusia sesungguhnya setelah dalam hidupnya selalu melakukan kebaikan yang berlandaskan kejujuran. Pinokio adalah  sebuah cerita dongeng (bohong), yang isinya sarat akan 'fakta' ( kejujuran). 

Saya kemudian mulai berpikir bagaimana jika para wartawan mendapat "berkah" seperti Pinokio ini. Saya yakin dunia yang digambarkan akan menjadi begitu jujur dan apa adanya seperti lembaran kertas-kertas yang mereka tulis. Kenapa mereka harus seperti Pinokio (jujur)? Karena kata-kata mereka bisa menipu, menyakiti, melukai, bahkan bisa membunuh orang yang tak bersalah. Diujung penanya ada kebenaran tapi pena itu juga bisa menyesatkan (kecerobohanya), itulah wartawan. 

Dalam buku diary-nya, seorang teman saya yang kebetulan juga seorang wartawan menulis seperti ini "Teman-temanku wartawan, kita bisa saja menggunakan kebohongan untuk menarik keluar kebenaran bukan sebaliknya menggunakan dalil kebenaran untuk menutupi kebohongan. Bukan juga menjadikan kertas-kertas itu, sebagai media untuk menunjukkan betapa kita begitu hebat dan perkasa sehingga setiap orang akan ketakutan melihat kita". 

Wartawan adalah mata, telinga, hidung, kaki, tangan dan hati dari orang-orang yang mencintai kejujuran dan kebenaran. Mungkin saya keliru mendefenisikannya, tapi itulah anggapan orang-orang yang buta jurnalistik (terutama orang-orang kampung). Kata-kata (tulisan) wartawan itu dianggap seperti sabda yang jujur dan tak terbantahkan. Hukumnya fardu'ain (wajib), sehingga mampu mempengaruhi seluruh opini masyarakat (grassroots) untuk langsung percaya. Tidakkah itu sebuah dosa besar jika apa yang dikatakan (tulis) adalah sebuah kebohongan? 

Pena seorang wartawan itu seperti sebuah pedang bermata dua. Dua sisinya sama-sama dipakai untuk "mengiris". Satu sisi dipakai untuk mengiris kebohongan supaya kebenaran bisa muncul dan sisi yang lainnya dipakai untuk mengiris kebenaran supaya tampak lebih jelas. Dan saya punya sedikit cerita tentang pena itu, yang kadang begitu menyakitkan.

Pada tahun 2013 yang lalu, seorang teman saya mengeluh karena istrinya dikorankan dengan judul besar "Bidan di Desa A Meninggalkan Tugas". Pemberitaan ini membuat pasangan suami-istri stress berkepanjangan. Usut punya usut ternyata istrinya cuma bidan sukarela. Selama satu tahun lebih mengabdi, dia tidak dibayar tapi tetap menjalankan tugasnya. Hari dimana si-wartawan itu datang adalah hari dimana dia harus ke kota kabupaten untuk mendampingi ibunya yang sedang sakit keras. Di tahun yang sama ini juga, seorang kepala sekolah mengeluh karena institusinya dikorankan dengan judul besar "Guru-Guru Di Sekolah A Meninggalkan Tugas". Pencitraan buruk yang digambarkan akhirnya membuat orang-orang menilai miring dan mencibir seisi sekolah. Usut punya usut ternyata hari dimana si-wartawan itu datang adalah hari semua siswa diliburkan karena semua guru mengikuti kegiatan MGMP di tingkat kecamatan.Dan masih banyak kisah pedih lain, yang sama-sama digoreskan oleh pena itu.  Tidakkah pemberitaan ini menggambarkan sebuah kesalahan fatal? 

Saya akhirnya bingung sendiri, "pena" apa yang dia pakai? Ataukah karena ada ruang "klarifikasi" atau "hak jawab" bagi siapa saja yang keberatan dengan isi tulisan itu,maka wartawan bisa seenaknya "menggigit"? Bukankah paku yang sudah dicabut tetap akan memberi bekas abadi pada kayu itu? Bukankah ilmu kedokteran sudah menjelaskan bahwa luka psikis adalah luka yang paling sulit disembuhkan? Ataukah karena alasan bahwa wartawan juga "manusia biasa", sehingga berhak untuk melakukan kesalahan? Tidakkah itu berlebihan? Kenapa tidak melakukan cek dan recek? Cek lagi dan recek lagi untuk memastikan kebenaran itu?

Sekali turun kemudian membuat berita layaknya sebuah "cerita roman",tidakkah itu berbahaya? Saya cuma takut dan kuatir bahwa istilah yang sering saya dengar ditepi jalan "Tak ada ikan kakap,ikan teri pun jadi", diamini hanya supaya bisa tetap "makan". Tidakkah ini bertentangan dengan kode etik jurnalistik? Wartawan dalam wajah Pinokio adalah impian saya supaya para wartawan lebih berhati-hati, lebih mengerti, lebih jujur dan lebih bernurani dalam menggoreskan penanya, hingga suatu saat bisa menjadi "wartawan yang sesungguhnya".

Wartawan Dalam Jaring Politik 

Sebuah kebiasaan yang mentradisi bahwa menjelang hajatan politik seperti pileg, pilbub, pilgub, dan pilpres, adalah bahwa semua media massa, baik itu media cetak ataupun media elekronik turut serta dalam isu pemberitaan. Para politisi, para caleg, para cabub, para cagub dan para capres, kemudian menjadikan mediamassa sebagai alat untuk memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan programnya.

Entah sebuah kekuatan besar darimana, tiba-tiba saja mediamassa itu "terbelah" menjadi  beberapa 'bagian' (kubu-kubu). Idealisme indepedensi para wartawan pun ikut "terbelah" karena terlanjur terikat "kontrak politik". Akibatnya langsung berdampak pada isi pemberitaan yang terkesan saling serang, saling sikut, dan saling jegal menjegal. Para wartawan inipun akhirnya, mulai berat sebelah, dan trik-trik sarkas pun mulai disertakan, seperti gambar yang agak lucu dan mengejek, judul yang profokatif, sampai pada isi berita yang nampak seperti "silet" yang bisa melukai siapa saja yang salah tangkap atau salah perhitungan. Kode etik jurnalistik yang menjadi garis panduan bagi wartawan, berubah menjadi garis samar-samar yang begitu mudah "dipolitisir". Media massa yang dulunya menentang status quo dan benci kekuasaan seakan melempem tak berdaya seolah kehilangan giginya.

Lebih anehnya lagi, entah siapa yang memulai, secara tiba-tiba muncul koran, majalah dan tabloid dadakan. Tugasnya cuma itu-itu saja dan mudah ditebak; menjaga elektabilitas orang yang didukung, menutupi semua keburukanya dan mengontrol isu publik. Loyalitas buta dan prinsip asal bapa senang-pun terpaksa dilakukan walau bertentangan dengan nurani. Coba saja kita lihat hajatan pilpres kemarin. Sungguh lucu, masing-masing stasiun TV memenangkan capres yang berbeda dengan pembuktian yang sama-sama akurat. Pertanyaan-nya, siapa yang berbohong? Andaikan "berkat Pinokio" itu ada, maka orang tidak perlu berdebat ria hanya untuk mencari kebenaran itu. Cukup lihat "hidungnya", maka kebohongan dan kebenaran akan terpampang dengan jelas.

Sialnya, pengaruh inipun merambah sampai pada tingkat "akar-rumput" (masyarakat kecil). Malah jarak atau jurang yang dibuat jauh lebih besar dan bisa menimbulkan masalah hukum. Fakta membuktikan bahwa persoalan politik ini bisa memicu lahirnya konflik-konflik horizontal dan konflik-konflik 'spontanitas' yang bisa berbuntut pada persoalan SARA.
Lebih sialnya lagi, dengan segala kepolosan dan keluguan, masyarakat yang awam politik ini, akhirnya berhasil memilih pemimpin hasil 'iklan' dan 'rayuan' para wartawan yang menyembunyikan dengan rapi keburukanya lewat ulasan berita di media cetak ataupun media elektronik yang begitu indah dan logis. Kenapa harus seperti itu? Tidakkah itu bertentangan dengan prinsip dan kode etik?  Bukankah kebenaran harus diungkapkan secara terang benderang? Apalagi jika itu menyangkut seseorang yang akan memimpin negeri ini? Lagi-lagi oknum wartawan ataupun reporter melakukan sebuah kesalahan yang sangat fatal.

Seandainya para wartawan itu menjadi seperti Pinokio, saya yakin endingnya akan menjadi berbeda. Sekuat apapun presure politik, tetap saja mereka harus bertahan pada prinsip dan kode etiknya. Bertahan layaknya seperti seekor ikan dilaut yang tak pernah menjadi asin hanya karena hidup dilautan yang begitu asin. Idealisme dan prinsip hidup para wartawan sebenarnya menjadi kekuatan besar yang mampu merubah atau membuat tatanan dunia menjadi lebih baik. Seandainya wartawan menjadi pinokio maka dia pasti bisa bertahan pada idealisme, kode etik dan prinsip hidup yang kemudian  memampukanya untuk menentang, menelajangi, memerangi semua kejahatan, kebobrokan dan keegoisan dunia dan pemimpin negri ini. Dan impian tentang wartawan yang selalu berkata (tulis) jujur dan tulus seperti Pinokio adalah harapan setiap orang yang mencintai kebenaran. Itulah impianku tentang wartawan, berlebihankah?

0 komentar: