(Sebuah lukisan Monolog atas perjalanan hidup menjadi guru di daerah terpencil)
oleh: Antonius Da Silva, S.Pd
Tergelincir, jatuh lalu bangun lagi menjadi bumbu wajib yang mewarnai perjalanan awal itu dan hal ini hampir saja meruntuhkan mimpiku untuk menjadi "guru sesungguhnya".
Melewati hembusan angin gunung yang begitu menusuk akhirnya saya bisa mencapai Desa Lamalela, tempat dimana berdirinya SMPN Satu Atap Ilewutung (satu dari sekian sekolah terpencil yang ada di kabupaten Lembata). Sebuah bangunan yang "megah" di tengah desa berdiri kokoh diantara rindangnya pohon kemiri, seolah menyadarkan saya bahwa sebuah keajaiban telah terjadi di tempat ini.
Bayangkan! Sebuah tempat terpencil yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua (Itupun kalau pengemudinya siap jatuh), kondisi tanahnya jelek, airnya sulit, listriknya tidak jelas dan komukasinya mati hidup, bisa membangun sebuah sekolah megah yang bahkan pembangunanya di audit oleh lembaga LSM.
Setelah bertemu dan berbagi cerita dengan para guru dan masyarakat, akhirnya saya tahu bahwa mereka hanya mau membatu anak-anak mereka untuk "menyentuh impianya".
Saya begitu tersentuh, bahkan sampai detik ini ketika sudah mulai ada sedikit perubahan pada desa itu. Sering kami para guru dikritik karena mengaku kalah pada keaadaan itu, tidak disiplin, dan tidak bertanggung jawab pada profesi yang diemban.
Akan tetapi kami tetap bertahan untuk berjalan meskipun terseok-seok untuk menjalani sebuah tugas besar tanpa cap dan meterai enam ribu yakni membantu "anak gunung" menyentuh mimpi mereka.
Tidak semudah membalikan telapak tangan, mungkin kalimat ini sudah "ter-instal mati" pada memori anak-anak gunung ini. Pagi, makan nasi jagung doang; siang, masih menu yang sama (syukur kalau ada sarimi); malam, minum kopi plus makan ubi bakar. Dan ini menjadi rutinitas yang harus diamini untuk meraih mimpi itu.
Melihat mereka, kadang mau menangis terutama saat mereka berebutan cahaya pelita waktu belajar. Kadang juga mau marah pada leluhur tanah ini, kenapa harus membuat anak cucu kalian menderita di tempat ini, ketika pemerintah menerapkan untuk direlokasi. Tapi sudalah, para leluhur itu pasti punya alasan yang mungkin jauh lebih berarti ketimbang rasa simpati kita yang kadang mati seiring waktu.
Saya harus bertahan dan bertahan lagi, karena tugas besar itu butuh guru yang tahan banting, butuh guru yang siap dikritik dan dicerca. Anak-anak itu dan tatapan mata mereka yang penuh harapan itu, begitu menusuk sampai kedalam kalbu seolah berkata "kami harus berlari kemana lagi dan kepada siapa lagi untuk meraih mimpi kami, kalau bukan pada kalian ayah dan ibu guru?"
Sayapun akhirnya terjebak diantara dua pilihan, menjadi guru yang baik untuk anak didik di sekolah atau menjadi tua keluarga yang baik bagi anak dan istri di rumah? Tapi, sekali lagi saya harus menjadi guru besar yang bisa memilih keduanya.
Teman-teman seperjuanganku begitu gigih mengajar, melatih, membina dan mendidik walau cuma menjadi guru honor dengan gaji dibawah standar UMR. Semangat mereka begitu besar bahkan hampir kalah karena masalah tunjangan khusus yang tidak pernah dialami.
Pengabdian mereka pada dunia pendidikan begitu luar biasa meskipun selalu kurang dimata masyarakat setempat. Dan bersama mereka, saya selalu tersenyum dan tertawa mengisi kisah anak-anak gunung itu.
Tahun demi tahun berlalu, dan anak-anak gunung itu telah pergi meninggalkan airmata terimakasih untuk dikenang. Tapi bersama guru lainya, saya harus tetap disini menemani anak-anak gunung berbeda generasi yang punya harapan yang sama.
Cerita tentang semua kekurangan, baik itu air, listrik, komunikasi, makan-minum, sarana prasarana adalah getir yang harus kami kecapi bersama-sama lagi dengan senyum dan tawa.
Tiba-tiba pada suatu hari, anak-anak gunung itu datang. Dengan penuh semangat mereka mencium tangan kami dan bercerita tentang petualangan mereka. Begitu bangga mereka berkisah; "Guru ... anak-anak Ilewutung sekarang, ada yang jadi ibu rumah tangga, ada yang jadi ojek, ada yang jadi guru, ada yang jadi Frater, ada yang jadi suster, ada yang masih kuliah dan ada yang sedang mencari jati diri".
Kemudian mereka pergi lagi sambil berucap, "Terima Kasih Guru!" Saat itu, saya tertegun sejenak, kemudian berujar dalam hati ... "TERIMA KASIH TUHAN, KARENA SUDAH MEMBANTU ANAK-ANAK GUNUNG ITU MENYENTUH mimpinya".
0 komentar:
Posting Komentar