NAPAKTILAS PRAMUKA GUGUS PAEHATI
“Pramuka
adalah persaudaraan, persahabatan, dan kesetiakawanan. Dalam pramuka kita akan
belajar untuk saling peduli, saling menolong, menjadikan alam sebagai ibu kita”.
Demikian kata Melkior Toran, A.Ma.Pd selaku Majelis Pembina Gugus (Mabigus)
Paehati (Persatuan Sehati) dalam apel pembukaan kegiatan pramuka. Kegiatan ini
dilaksanakan selama dua hari dengan menjadikan Hidalabi (sebuah desa terpencil
di Kabupaten Lembata) sebagai bumi perkemahan.
Kegiatan
ini melibatkan sekolah-sekolah yang berada di gugus Paehati antara lain, SMPN
Satap Ilewutung, SDI Ilowutung, SDK Nuba Lamatuka, dan SDK Lamatuka, juga
adalah sekolah-sekolah yang menjadi bagian dari Siaga dan Penggalang. Semuanya
terlibat aktif. Hal ini menciptakan tali-persaudaraan yang begitu hangat.
Kaka
Stefanus Pito Dalo selaku koordinator pembina siaga merasa bahwa kegiatan
pramuka sangat penting untuk membentuk kemandirian anak. “pramuka adalah
kekuatan yang harus dimanfaatkan untuk membentuk karakter siaga dan pengggalang
menjadi pribadi yang mandiri”. Spirit ini, begitu antusias ditanggapi oleh para
siaga dan penggalang dengan menyanyikan yel-yel pramuka.
Para siaga
dan penggalang kemudian dipisahkan ke dalam tujuh kelompok dengan didampingi
kakak-kakak pembina antara lain; kakak Katarina Liban, kakak Antonia Bura,
kakak Antonia Uak, kakak Agustina Loman, kakak Helena Abon, kakak Niko Lowai,
kakak Don Bosko Tobe, kakak Jemy Leumara, kakak Hyronimus Lado, kakak Ferdi
Keor, kakak Kanisius Tome, kakak Stefanus Pito Dalo, kakak Gaspar Laga, kakak
Edigius Kedawu, kakak Gabriel Gawi, kakak Antonius Da Silva. Mereka dengan
tulus dan tegas mendampingi para siaga dan penggalang.
Aneka
kegiatan seperti; hiking, mencari jejak, membaca tanda, menterjemahkan kode,
menyanyikan yel-yel pramuka, menjadi penyemangat. Terlebih lagi masyarakat
setempat turut serta dalam kegiatan pramuka kali ini dengan menyumbangkan
makanan dan minuman sebagai bekal perjalanan Lintas Alam ke Wae Bla’ang.
Sesudah
menempati kelompok masing-masing, kegiatan selanjutnya adalah mencari jejak.
Kegiatan ini menjadikan Wae Bla’ang sebagai tujuan dari para siaga dan
penggalang. Dalam konteks masyarakat setempat “Wae” yang artinya “Air”, dan
“Bla’ang” yang artinya “Besar” adalah suatu tempat unik berupa aliran sungai
yang berada di tengah hutan. Untuk mencapai tempat ini, para siaga dan
penggalang harus melewati hutan, mendaki, dan menurun terjalnya bukit, dengan
jarak kurang lebih 4,5 km dari bumi perkemahan Hidalabi.
Sebelum
tiba di Wae Bla’ang, para siaga dan penggalang harus melewati “duang” suatu
tempat yang dikeramatkan masyarakat setempat. Duang yang dalam konteks
orang-orang setempat artinya “hutan yang penuhi pohon-pohon besar” ini dipenuhi
hutan enau. Konon dikisahkan bahwa ada seorang leluhur (Bapak Alo namanya),
yang pertama kali datang, tinggal, dan kemudian meninggal di sana. Rohnya akan
murka, jika kita datang atau melewati tempat itu dengan tujuan atau niat yang
jahat. Oleh karena itu, kita harus menyucikan niat kita sebelum melewati area
itu dengan cara diperciki air (yang ada di tempat itu) oleh salah seorang
penduduk setempat.
Selama
perjalanan itu, para pembina memberi motivasi dan menjelaskan tentang cara-cara
yang harus dilakukan untuk menemukan “kotak rahasia”. Kotak rahasia merupakan
sebuah permainan mencari harta karun yang menuntut kreativitas dan kekritisan
para siaga dan penggalang.
Tak terasa
para siaga dan penggalang menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam untuk tiba di
lokasi. Sungguh sebuah pemandangan mempesona mata, karena di tengah hutan
kelapa terdapat sungai yang mengalir, menjadikan tempat ini indah untuk melepaskan
kepenatan. Wajah-wajah puas dan kebahagiaan begitu nampak. Para siaga dan
penggalang kemudian diberi kesempatan untuk menikmati indahnya alam Wae
Bla’ang.
Para pembina
begitu bersemangat untuk menunjukkan tekad bahwa mereka juga bagian dari Praja
Muda Karana. Mencari kayu api, menyusuri sungai untuk menangkap ikan, udang,
kepiting, dan katak (sebagai lauk untuk santapan siang), bakar ubi dan pisang,
semuanya mereka lakukan dengan penuh semangat.
Tampak
jelas bahwa para siaga, para penggalang dan pembina menyatu dalam satu raga,
satu roh, dan satu cinta yakni pramuka. Menjadi bagian dari pramuka ternyata
mengubah dan menciptakan sebuah persatuan dari sekian banyak perbedaan. Dan Wae
Bla’ang menjadi saksi atas semua itu.
MALAM API UNGGUN
Cerita
indah seorang siaga atau penggalang tak akan lengkap tanpa malam api unggun.
Mengapa? “karena api unggun adalah simbol semangat para siaga dan penggalang
yang akan membakar segala keburukan masa lalu mereka, dan membentuk kepribadian
yang lebih baik” demikian kata Gaspar Laga selaku koordinator pembina
penggalang.
Api unggun
itu Pancasila. Api unggun itu Dasa Darma yang akan memberi kekuatan sekaligus
menjadi pedoman hidup bagi Praja Muda Karana untuk bisa mengabdi pada tanah air
dan bangsa. Dalam pesan singkatnya sebagai salah satu Mabigus, Yohanes Pito
Lenny mengatakan bahwa “pramuka adalah pemersatu. Pramuka adalah sebuah rantai
yang mengikat kita dengan cinta persaudaraan. Jagalah dan simpanlah itu dalam
hati kita masing-masing”.
Kegiatan
malam api unggun ini menjadi begitu hikmad ketika kakak Jemy Leumara membacakan
puisi buah karyanya “aku
siaga, kamu penggalang, semangat cinta tanah air kami, jangan kau tanyakan, panasnya
akan membakar, setiap niat yang akan menghalang, jangankan kamu, dia atau pun
mereka”. Itulah sepenggal puisi yang begitu menyentuh
setiap hati malam itu. Malam yang penuh cinta akan kenangan persaudaraan yang
diwujudkan dalam nyanyian-nyanyian indah para Praja Muda Karana. Kami pramuka
gugus paehati mencintai alam yang adalah ibu kami, mencintai sesama yang adalah
saudara kami.
HUT PRAMUKA KE-54 GUGUS PAEHATI
Berkat
kerja keras dan buah kesabaran Gaspar Laga selaku koordinator pembina
penggalang yang juga menangani khusus para pasukan pengibar bendera, apel HUT
Pramuka ke-54 gugus Paehati tahun ini di Hidalabi memberi warna yang berbeda.
Dibawa pimpinan Ako (sapaan Mikhael Naran) salah satu penggalang yang kini
duduk di kelas 9 SMPN Satap Ilewutung, begitu tegap dan rapih seoalah-olah kita
sedang mengikuti upacara apel bendera di istana negara.
Dengan
diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dipimpin langsung oleh kakak Tina
(sapaan Agustina Loma) salah satu guru SDI Ilowutung, bendera dengan ukuran
panjang 2,5 m dan lebar 1,4 m dikibarkan dengan sempurnah di atas tiang bambu
oleh pasukan pengibar bendera yang berdampingan langsung dengan bendera Pramuka.
Selain siaga dan penggalang, peserta apel bendera juga dihadiri oleh masyarakat
setempat. Yang hadir saat itu berjumlah sekitar 30 orang, terdiri dari anak
yang belum berusia sekolah, orang dewasa dan juga lansia.
Dalam
sambutannya selaku pembina pada upacara apel bendera memperingati HUT Pramuka
ke-54 tanggal 14 Agustus 2015 kali ini, Melki Toran mengajak para peserta terutama
para siaga dan penggalang untuk belajar hidup dari cermin. Lebih lanjut Ia
mengatakan cermin adalah diri kita, dan banyangan dalam cermin adalah jiwa
kita. Sebab cermin selalu memberikan bayangan apa adanya, walaupun pada
dasarnya bayangan dalam cermin terkesan terbalik (kiri menjadi kanan dan
sebaliknya). Oleh karena itu, cermin perlu dijaga agar tidak retak, sebab
cermin yang retak akan menujukkan bayangan yang tidak sempurnah.
Selepas
upacara tersebut, semua peserta termasuk masyarakat yang hadir saat itu saling
berjabatan tangan dan membagi senyuman. Dipenghujung sebelum perpisahan, semua
yang hadir saat itu diajak untuk makan dan minum bersama oleh Melki Toran
selaku Mabigus yang juga merupakan salah satu putera dusun itu. Ini suatu
budaya yang masih dijaga dengan baik sejak dahulu kala. Tetapi jangan bertanya
“dari mana anggarannya?”, sebab semuanya lokal. Mulai dari kebaku (kacang
hutan), jagung titi, daging (hasil buruan masyarakat setempat), dan dilengkapi
dengan tuak (aren hasil sadapan dari pohon lontar). Semua disuguhkan dengan tulus
oleh masyarakat setempat. Terimakasih Hidalabi, terimaksih untuk kebersamaan
ini.
0 komentar:
Posting Komentar