Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi putera-puterinya. Oleh karena itu, berbagai usaha pun dilakukan demi mencapai keinginan tersebut. Begitu juga masalah pendidikan anak yang telah diatur dalam undang-undang dasar 1945 (UUD 1945) pasal 31 ayat 1 dan 3 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”
Dengan alokasi dana 20% dari APBN untuk pendidikan, maka keinginan orangtua yang kurang mampu membiayai pendidikan anak-anaknya akan terwujud melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan dana Bantuan Siswa Miskin (BSM). Kini, semua anak miskin punya peluang mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas, bahkan dapat melanjutkannya hingga strata 1 (S1), strata 2 (S2), dan strata 3 (S3) melalui jalur beasiswa bidikmisi.
Walaupun telah banyak bantuan pendidikan, namun tidak semua orangtua mengetahuinya terutama orangtua yang berada di daerah pedalaman, dan terisolir dari berbagai akses. Karena keterbatasan pengetahuan dan akses yang dimiliki, maka tidak jarang banyak oknum yang memanfaatkan kesempatan tersebut dengan berdalih sekolah gratis. Tak disangka, banyak anak pun terjebak dalam lingkaran itu, terutama para siswa/i yang barusan lulus sekolah menengah pertama (SMP) di berbagai pelosok daerah kabupaten Lembata.
Seperti yang dialami Mawar (bukan nama asli), seorang remaja putri (27) asal Lembata yang tak mau disebutkan nama aslinya, yang kini berdominsili disalah satu kota di Jawa Timur. Ia menuturkan, jika Ia terpaksa harus bekerja pada sebuah restoran demi mendapatkan ijazah yang hingga kini masih ditahan oleh yayasan tempat Ia didatangkan awal dari Lembata. Menurut pengakuannya, Ia tidak pernah menyangka kalau pada akhirnya harus mengalami nasib seperti ini. Sebab berdasarkan penjelasan pihak yayasan saat promosi ke SMP asalnya, Ia dan teman-temannya, serta orangtua mereka masing-masing, hanya mengetahui bahwa program sekolah gratis ini akan ditempuh dalam waktu 4 tahun.
Kenyataannya berbeda dengan apa yang dijelaskan dan yang mereka ketahui. Lebih lanjut, Ia menuturkan bahwa, sejak awal hingga akhir saat menempuh pendidikan sekolah menengah atas (SMA), Ia dan 29 teman lainnya asal Lembata, dan daratan Flores, harus bekerja merawat para jompo dan juga anak penyandang disabilitas (anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama). Hal ini sangat bertentangan dengan undang-undang Republik Indonesia (UURI) nomor 35 tahun 2014, perubahan atas UURI nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Karena merasa seperti tertipu, dan tidak betah dengan pekerjan keseharian mereka, ada beberapa teman-temannya yang terpaksa melarikan diri dan melanjutkan pendidikan di SMA lain (bukan di Jawa Timur). Hanya tertinggal 3 orang diantara mereka (sekampung dengan Mawar) yang mampu bertahan hingga tamat pada tahun 2010 lalu, dari salah satu SMA swasta yang adalah milik yayasan tersebut. Sayangnya setelah tamat bukannya memperoleh ijazah, malah harus bekerja dalam yayasan tersebut untuk menebus semua biaya pendidikan yang selama ini dikeluarkan oleh pihak yayasan.
Mereka digaji sebesar enam ratus ribu rupiah untuk merawat para jompo dan anak penyandang disabilitas, seperti yang mereka lakukan sehari-hari waktu menempuh pendidikan SMA. Hanya saja dalam pelayanannya berbeda, karena harus bekerja sehari penuh dibanding waktu masih menempuh pendidikan yang berkisar 3-4 jam perhari. Dari enam ratus ribu rupiah dipotong sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah, untuk menggantikan biaya pendidikan (SPP) yang selama ini ditanggung yayasan, yang jumlahnya juga sama dengan potongan gaji setiap bulannya.
Hal ini menjadi kendala ketika mereka ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Sebab jika dihitung mereka harus bekerja lagi selama 4 tahun untuk mengembalikan uang yayasan tersebut. Menurut Mawar, Ia terpaksa bekerja demi mendapatkan ijzahnya, karena kedua orangtuanya tidak memiliki uang sebanyak dua belas juta rupiah untuk menggantikan uang yayasan seperti yang dilakukan oleh orangtua dari kedua temannya. Ia berharap dapat melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi, setelah melunasi utang dan memperoleh ijazahnya nanti.
Selain ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, Mawar juga menghimbau kepada semua orangtua terutama yang jauh di pedalaman NTT pada umumnya dan Lembata khususnya, agar lebih berhati-hati dalam memilih sekolah untuk pureta-puterinya. Sehingga kelak tidak mengalami hal serupa, seperti yang telah dialami Mawar dan teman-temannya, sebab semua anak miskin sekarang punya peluang yang sama untuk mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar