Suara tangis seorang bayi di
malam itu, 25 Desember 1976, bertepatan dengan kelahiran sang Juru Selamat (Yesus
Kristus), yang belakangan diketahui adalah anak sulung berjenis kelamin wanita yang
baru saja lahir dari sebuah pasangan keluarga sederhana.
Jauh dikeheningan malam karena
ditinggal penduduk setempat yang sedang merayakan malam Natal (yang letaknya
puluhan kilometer dari dusun Ilowutung), serta ketiadaan tenaga medis, memaksakan
sang ayah untuk berperan ganda demi keselamatan nyawa darah dagingnya.
Natali itulah nama yang dibubuhi
sang ayah untuk bayi mungil itu. Natali tumbuh dalam kesederhanaan seperti
keluarga-keluarga lain di dusun itu. Dengan seiring berjalannya waktu jumlah
anggota keluarga Natali semakin besar setelah hadir keempat adiknya yang lain.
Terlahir dari keluarga kurang
mampu, terkadang memaksakan seseorang hanya berpasarah pada kenyataan pahit hidupnya.
Dilain sisi justeru ada orang yang sukses karena terlahir dari keaadaan demikian,
seperti yang dialami adik-adik Natali (but
not Natali).
Seperti biasa sebagai seorang
gadis kampung, Natali hanya bisa mengeyam pendidikan SD. Ketika tamat SD, Natali
dan para gadis lainnya lantas menjadi pekerja rumahan (memasak,mencuci,
bersih-bersih rumah) sambil menunggu siapa jodoh yang kirimkan Tuhan untuknya.
Gading gajah yang merupakan mahar
dalam budaya suku Lamaholot menjadi impian semua orangtua yang memiliki anak
gadis, tak terkecuali orang tua Natali. Itulah kenyataan yang harus dihadapi
seorang gadis kampung seperti Natali sebagai bentuk kepatuhannya terhadap
orangtua.
Hati kecil Natali benar-benar
memberontak. Gadis berparas cantik ini lantas memutuskan untuk merantau karena
tak sanggup menghadapi kenyataan hidupnya itu. Atas restu kedua orang tuanya, dan
bermodalkan keberanian, ia kemudian berangkat ke Negeri Jiran (Malaysia).
Hanya satu tujuan Natali, ia tak
ingin adik-adiknya mengalami hal seperti
yang ia sendiri alami. “Mereka harus sekolah, minimal tamat SMA”, katanya.
Itulah modal Natali untuk meyakinkan kedua orangtuanya. Itulah yang dipikiran
Natali kecil, yang bisa menjangkau pikiran orang dewasa.
Salib adalah Jalan
Setiap jalan pasti dibukakan
Tuhan bagi orang yang selalu berusaha. Itulah yang ada dalam pikiran Natali. Dan
benar seperti janji Natali kepada kedua orang tuanya. Setelah mendapatkan
pekerjaan yang layak, kehidupan keluarga di kampung halaman seperti mengalami
suatu perubahan besar.
Keempat adiknya lantas bisa
mengenyam pendidikan hingga ke tingkat SMP waktu itu (tahun 90-an), atas hasil kerja
kerasnya sebagai TKW. Sayang salah satu dari keempatnya (anak ke-2) harus putus
sekolah karena harus merawat kedua orangtuanya yang kebetulan sakit secara
bersamaan saat itu.
Sang ayah yang sakitnya berkepanjangan
benar-benar menjadi salib berat tersendiri untuk Natali waktu itu. Tapi syukurlah,
karena atas kehendak Tuhan ayah Natali kembali sehat, setelah 6 bulan terbaring
di rumah sakit, dan istirahat total 3 tahun untuk masa pemulihan.
Salib yang dialami keluarga ini justru
menjadi jalan terbuka bagi mereka. Tak disangka putra tunggal yang merupakan anak
ke-3 keluarga itu mampu melanjutkan pendidikan hingga ke tingkat yang lebih
tinggi setelah lolos dalam suatu seleksi masuk perguruan tinggi.
Tuhan benar-benar baik. Selepas
wisuda, sang putra tunggal langsung dipinang dalam seleksi angkatan laut
republik indonesia. Ia lantas lolos dan kini bekerja sebagai seorang militer. Mungkin
terasa biasa bagi kalangan tertentu, tetapi ini benar-benar mujizat bagi orang-orang
pinggiran seperti keluarga Natali.
Anak ke-4 yang memilih jurusan
kesehatan semasa kuliahnya, kini sedang bekerja di salah satu rumah sakit. Dan si
bungsu yang berjiwa seni, kini sedang menjalankan masa-masa akhir studinya pada
jurusan sendratasik (seni, drama, tari dan musik) di salah satu perguruan
tinggi.
Kembali ke Sang Khalik
Kisah kesuksesan yang mampu mengubah
hidup keluarga sederhana itu, tidak terlepas dari peran penting sang Natali
yang dianggap sebagai pahlawan keluarga. Tetapi yang namanya hidup, tidak hanya
bahagia saja yang dialami, kedua sisi antara bahagia dan sedih pasti selalu
seimbang (life balance).
Keputusannya untuk tidak
berkeluarga (memiliki suami), terbukti mampu mengantarkan kesuksesan adik-adiknya.
Tetapi siapa sangka, Rabu, 18 April 2018, tepat pukul 01.55 dini hari waktu
setempat adalah hari terakhir Natali berada ditengah keluarganya.
Seperti tersambar petir disiang
bolong, semua kaum keluarga, kerabat, sahabat, dan kenalan seolah-olah tak
percaya dengan berita kematian Natali. Kurang lebih baru setahun kembali dari
perantauan, dan memilih untuk beristirahat bersama kedua orangtuanya.
Tak diduga ternyata demi kebahagiaan
keluarga, Natali menyembunyikan suatu penyakit mematikan (kanker) dalam dirinya.
Yang belakangan berdasarkan informasi yang diperoleh pihak keluarga dari
sahabat kenalan Natali, penyakit yang dideritanya sudah berada pada stadium 4 (posisi
terakhir) ketika kembali ke kampung halaman.
Itulah Natali, pahlawan keluarga yang
lahir bertepatan dengan peringatan kelahiran Juru Selamat di sebuah dusun terpencil.
Ia lebih memilih untuk mengorbankan segalanya, termasuk nyawanya sendiri demi
kebahagiaan keluarga yang ia cintai.
“Terimakasih kaka, sudah menjadi pahlawan
dan teladan buat keluarga kita. Jasamu akan selalu dikenang”. Itulah kata-kata
yang terlontar dari adik-adik Natali saat mengantarkan jenazah kakanya menuju
ke pemakaman.
Hari ini, genap 40 hari kepergian Natali dari tengah-tengah keluarga, dan kerabat. Tetapi kisah Natali ini mampu memberikan kita pelajaran hidup yakni "jangan pernah menyerah dengan kenyataan hidup ini, jika ingin mengubahnya lebih baik". @hyrolado
0 komentar:
Posting Komentar