Kemampuan mengajar guru di kelas sering dianggapnya sudah lebih dari cukup,
walaupun masih banyak kelemahan yang muncul saat proses pembelaran. Apalagi
ditambah penilaian yang terkesan hanya berpatok pada aspek kognitif saja, dan
mengabaikan kedua aspek lainnya. Lebih dari itu, ketidaktuntasan siswa dianggap
sebagai kelemahan individu siswa yang bersangkutan. Padahal nilai tersebut,
menggambarkan keberhasilan atau kegagalan seorang guru selama melakukan proses
pembelajaran.
Mengejar Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan satuan pendidikan, juga menjadi target
yang paling diutamakan. Lalu apakah sang penentu KKM mengetahui dengan benar
tingkat kompleksitas setiap mata pelajaran? Jawabannya bisa ditebak
"mengarang". Akhibatnya jurus mendongkrakpun mulai
diterapkan dalam dunia pendidikan. Sesungguhnya hal tersebut dilakukan hanya
untuk mematikan katakter (jujur) baik dalam diri guru maupun siswa.
Lebih
diperparah lagi kaeran hasil sulap
yang dilakukan guru setiap tahun, sudah terserap dan dipahami dengan benar oleh siswa ketimbang pembelajaran yang diberikan
gurunya. Secara sadar,
saat ini kita telah memunculkan
karakter baru yang sangat tidak diharapkan "mental santai" dari diri
siswa. Bahkan lebih dari itu, hasil Ujian Nasional (UN) dijadikan patokan utama
mutu suatu lembaga pendidikan. Haruskah demikian?
Guru yang penuh kreatif
dan inovatif adalah guru yang mau untuk terus melakukan reflektif demi
memperbaiki proses pembelajaran di kelasnya dan tak pernah merasa “takut” ketika siswanya menghadapi ujian nasional. Mari
kita refleksikan dan berbenah demi generasi abad 21 yang lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar