Oleh: RACHMAN FIRDAUS, S,Pd Guru Pada SMPN 1 Nagawutung – Lembata
Hampir satu jam pelajaran seorang guru menghabiskan waktunya untuk menyampaikan materi pelajaran kepada anak didiknya. Tentu saja materi yang ia sampaikan adalah materi yang telah ia persiapkan pada malam harinya. Sebagian besar siswa sama sekali tidak merasa tertarik dengan materi pelajaran yang disampaikannya. Karena mereka merasa bahwa apa yang disampaikan sang guru sama persis dengan apa yang ada didalam buku yang telah mereka pelajari dirumah. Oleh karena itulah mereka merasa gelisah selama mendengarkan penjelasan guru. Diantara mereka ada yang asyik membaca buku, mengobrol dan ada juga yang mengantuk.
Memperhatikan gejala yang tidak mengenakan itu, guru segera bereaksi : “anak-anak tolong perhatikan! Materi yang bapak sampaikan ini adalah materi yang sangat penting untuk kalian kuasai. Nanti soal-soal ulangan tidak akan jauh dari apa yang bapak sampaikan. Oleh karena itu, tolong perhatikan apa yang bapak sampaikan!” anak-anak diam sebentar, yang sedang mengobrol segera menghentikan obrolannya, yang sedang membaca melipat buku bacaannya, demikian juga yang sedang mengantuk melepas kantuknya. Sang guru segera melanjutkan pembelajarannya, bertutur menyampaikan informasi.
Suara sedikit melemah, karena kehabisan energi, sehingga siswa yang duduk dibangku bagian belakang tidak dapat menangkap apa yang diuraikan guru. Ini semua semakin membuat bosan siswa. Mereka kembali dengan aktivitas semula: mengobrol, membaca, dan mengantuk. “membosankan!" gerutu seorang siswa yang duduk dibelakang.
Hari ini memang membosankan, baik bagi guru maupun bagi siswa. Guru menganggap anak didiknya bandel-bandel. Ia merasa disepelehkan oleh siswa yang tidak mau mendengarkan penjelasannya. Demikian juga siswa, mereka merasa guru tidak mampu mengajar, karena ia hanya menyampaikan informasi yang sebetulnya sudah merasa mereka kuasai. Oleh sebab itu, ketika bel berbunyi tanda pelajaran berakhir, baik guru maupun siswa seakan-akan keluar dari mimpi buruk yang menegangkan. Siswapun bersorak kegirangan menyambut bunyi bel, sementara guru keluar dari kelas dengan langkah gotal karena kecapaian.
Kita sering melihat bahkan mungkin merasakan peristiwa semacam itu. Bagi seorang guru, peristiwa itu sering dianggap sebagai peristiwa yang menjengkelkan, sehingga ia menganggap kalau kelas tersebut adalah kelas yang bandel, kelas yang tidak bisa diurus dan lain sebagainya.
Empat Hal Yang Menjadi Kekeliruan Guru Dalam Proses Pembelajaran
Berdasar kisah diatas, ada empat hal yang menjadi kekeliruan guru dalam proses pembelajaran. Kekeliruan tersebut antara lain sebagai berikut :
Pertama, ketika mengajar guru tidak berusaha mencari informasi, apakah materi yang diajarkan sudah dipahami siswa atau belum. Kurangnya perhatian siswa seperti dalam peristiwa belajar mengajar di atas, jelas disebabkan karena siswa sudah memahami informasi yang disampaikan guru, sehingga mereka menganggap materi itu tidak penting lagi.
Kedua, dalam proses belajar mengajar guru tidak berusaha mengajak siswa berpikir. Komunikasi terjadi satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Guru menganggap bahwa siswa menguasai materi pelajaran lebih penting dibandingkan dengan mengembangkan kemampuan berpikir.
Ketiga guru tidak berusaha mencari umpan balik mengapa siswa tidak mau mendengarkan penjelasannya.
Keempat, guru menganggap bahwa ia adalah orang yang paling mampu dan menguasai pelajaran dibandingkan dengan siswa. Siswa dianggap sebagai “tong kosong” yang harus didisi dengan sesuatu yang dianggapnya penting.
Keempat hal itu, merupakan kekeliruan guru dalam mengajar. Mengapa demikian? Mari kita analisis keempat hal diatas.
Guru tidak berusaha untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Seorang yang profesional dalam bidangnya, sebelum ia melakukan tindakan akan didahului dengan langkah diagnosis, sehingga langkah ini merupakan bagian dari langkah profesionalnya.
Kemudian bagaimana dengan guru seperti cerita di atas? Tampaknya ia tidak melakukan langkah diagnosis tentang keadaan siswa, sehingga tidak mengetahui apakah siswa sudah membaca buku yang ia baca. Jangan-jangan siswa lebih paham dari gurunya tentang materi pelajaran yang akan diajarkan, karena selain siswa membaca buku yang menjadi rujukan guru, siswa pun membaca buku lain yang relevan.
Guru tidak pernah mengajak siswa berpikir. Dalam pembelajaran, bukan hanya menyampaikan materi pelajaran akan tetapi melatih kemampuan siswa untuk berpikir, menggunakan struktur kognitifnya secara penuh dan terarah. Materi pelajaran mestinya digunakan sebagai alat untuk melatih kemampuan berpikir bukan tujuan. Mengajar yang hanya menyampaikan informasi akan membuat siswa kehilangan motivasi dan konsentrasinya. Mengajar adalah mengajak siswa berpikir, sehingga melalui kemampuan berpikir akan terbentuk siswa yang cerdas dan mampu memecahkan setiap persoalan yang dihadapinya.
Guru tidak berusaha memperoleh umpan balik. Proses pembelajaran adalah proses yang bertujuan. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan oleh seorang guru seharusnya mengarah pada pencapaian tujuan. Apa bedanya seorang guru dengan seorang penjual obat? Ya, perbedaannya terletak pada tujuan yang ingin dicapai. Walau keduanya sama-sama bicara , tapi bicaranya penjual obat berbeda dengan bicaranya guru. Apa yang keluar dari mulut penjual obat, tidak lebih dari keinginannya untuk menarik perhatian orang, sedangkan apa yang keluar dari mulut seorang guru selalu diarahkan untuk mencapai tujuan belajar yakni perubahan tingkah laku.
Oleh karena itu dalam setiap proses mengajar guru mendapatkan umpan balik, apakah tujuan yang ingin dicapai sudah dikuasai oleh siswa atau belum, Apakah proses atau gaya bicara guru dapat dimengerti atau tidak, hal ini sangat diperlukan untuk proses perbaikan mengajar yang telah dilakukannya.
Guru menganggap bahwa ia adalah orang yang paling mampu dan menguasai pelajaran. Dewasa ini berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi informasi setiap orang bisa memperoleh pengetahuan lewat berbagai media. Dengan demikian kalau sekarang ini ada guru yang menganggap dirinya paling pintar, paling menguasai sesuatu, itu sangat keliru. Bisa terjadi dewasa ini siswa lebih menguasai materi pelajaran dibandingkan dengan gurunya. Coba kita bayangkan siswa yang dirumahnya gemar membaca koran, majalah, buku-buku, banyak mempelajari pengetahuan lewat internet, mendapatkan informasi lewat media televisi, dan lain sebagainya, maka siswa yang demikian akan lebih hebat dari gurunya yang tidak pernah membaca koran, tidak mengikuti perkembangan dunia, tidak pernah berkomunikasi lewat internet karena tidak memiliki fasilitas untuk itu dan lain sebagainya.
Jadi dengan demikian dalam era informasi sekarang ini seharusnya telah terjadi perubahan peran guru. Guru tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber belajar (learning resources), akan tetapi lebih berperan sebagai pengelola pembelajaran (manager of instruction). Dalam posisi semacam ini bisa terjadi guru dan siswa saling membelajarkan. Salahkah kalau guru belajar dari siswa???
0 komentar:
Posting Komentar